Pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang dikutip dalam sejumlah media dengan judul “Apabila HGU Terbit Sebelum Penetapan Kawasan Hutan, Maka HGU yang Menang”, memicu beragam reaksi publik. Sebagian kalangan menilai pernyataan tersebut keliru dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Salah satunya adalah Pramono Dwi Susetyo (Rimbawan Senior) yang menulis tulisan berjudul “Benarkah Ada HGU Sawit Bukan dari Kawasan Hutan?” yang dimuat di Agro Indonesia, yang secara tegas mengkritisi pandangan sang Menteri. Namun, polemik ini sebetulnya berakar pada kekeliruan yang kerap terjadi dalam memahami dua istilah penting dalam tata kelola kehutanan: penunjukan dan penetapan kawasan hutan.
Kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian, padahal secara hukum memiliki makna dan konsekuensi yang sangat berbeda. Tulisan ini bertujuan membedah perbedaan prinsipil antara penunjukan dan penetapan kawasan hutan, guna memberi pemahaman yang lebih utuh atas pernyataan Menteri ATR/BPN dan polemik yang menyertainya.
Dalam kerangka hukum kehutanan Indonesia, terutama sejak UU No. 5 Tahun 1967 hingga UU No. 41 Tahun 1999 dan peraturan turunannya, pengelolaan kawasan hutan dilakukan melalui proses yang bertahap dan ketat.
Ada empat tahap penting dalam pengukuhan kawasan hutan: penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan. Masing-masing tahap memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, sehingga tidak bisa disamakan.
Di dalam Pasal 1 angka 19 PP No. 23 Tahun 2021, definisi “Penunjukan Kawasan Hutan adalah penetapan awal peruntukan suatu wilayah tertentu sebagai Kawasan Hutan”. Penunjukan kawasan hutan adalah langkah awal dan belum memberikan kepastian hukum. Penunjukan belum melalui verifikasi lapangan, belum dilakukan penataan batas, dan belum menyelesaikan hak atas tanah yang mungkin telah dimiliki pihak lain.
Sedangkan definisi Penetapan Kawasan Hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas dan luas suatu Kawasan Hutan menjadi Kawasan Hutan Tetap (Pasal 1 angka 21 PP No. 23 Tahun 2021). Wilayah yang telah ditetapkan telah melalui pemetaan, penataan batas, dan penyelesaian terhadap hak-hak pihak ketiga. Dengan kata lain, penetapan memberikan kepastian hukum final atas status kawasan hutan.
Di dalam UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, Pasal 1 angka 4, mendefinisikan Kawasan Hutan ialah wilayah-wilayah tertentu yang oleh Menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai Hutan Tetap. Pilihan kata yang digunakan UU No. 5 Tahun 1967 adalah “ditetapkan”, bukan “ditunjuk”. Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Kehutanan, Pasal 5 ayat (2) “Berdasarkan Rencana Pengukuhan Hutan, Menteri Pertanian menunjuk wilayah-wilayah tertentu sebagai Kawasan Hutan. Sedangkan di dalam ayat (3) “Untuk melaksanakan Pengukuhan Hutan, Menteri Pertanian membentuk Panitia Tata Batas yang tata-kerjanya akan diatur lebih lanjut”. Sedangkan di dalam ayat (5) “Perubahan batas Kawasan yang telah ditetapkan dengan Berita Acara Tata Batas, harus dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian.”
Surat Keputusan Penunjukan dan Penetapan Kawasan Hutan sama-sama produk Keputusan Tata Usaha Negara berisi penetapan tertulis dari pejabat tata usaha negara. Akan tetapi istilah penetapan kawasan hutan bukan merujuk pada keputusan tata usaha negara saja, tetapi istilah hukum tersendiri yang ada pada UU No. 5 Tahun 1967 maupun UU No. 41 Tahun 1999. Penetapan kawasan hutan ini juga berbeda dengan keputusan administratif biasa, karena tidak hanya melibatkan aspek teknis tetapi juga memiliki landasan hukum yang kuat. Oleh karena itu, istilah “penetapan” bukanlah sekadar keputusan administrasi negara, melainkan bentuk legitimasi dalam karena terdapat tata batas dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga.
Apakah SK TGHK adalah SK Penetapan?
Kesalahan umum yang kerap terjadi adalah menyamakan SK Penunjukan seperti TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) dengan SK Penetapan. Kalau kita membaca SK TGHK Riau sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Propinsi Dati I Riau sebagai kawasan hutan, maka SK ini adalah SK Penunjukan.
Di dalam Diktum Kedua SK tersebut disebutkan bahwa “Batas sementara kawasan hutan tersebut pada amar pertama seperti terlukis dalam peta pada lampiran Surat Keputusan ini, sedangkan batas tetap akan ditetapkan setelah dilaksanakan pengukuran dan penataan batas di lapangan.”
Jika kita melihat Peta TGHK 1986, maka 100 % Provinsi Riau termasuk Kota Pekan Baru ditunjuk kawasan hutan. Tak ada sejengkal tanah di Provinsi Riau yang tidak ditunjuk sebagai kawasan hutan.
Banyak pihak (termasuk aparat penegak hukum) yang minim literasi dan tidak mengerti terhadap esensi penetapan kawasan hutan. Ketika membaca SK TGHK 1986 atau mungkin Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK. 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau, maka dianggap sebagai Surat Keputusan Penetapan Kawasan Hutan, padahal Surat Keputusan tersebut hanyalah Penunjukan Kawasan Hutan.
Ciri utama dari Surat Keputusan Penetapan Kawasan Hutan didukung dengan adanya dokumen Berita Acara Tata Batas yang disahkan menteri. Artinya jika tidak berita acara tata batas, maka dipastikan dokumen tersebut bukan penetapan kawasan hutan. Di samping itu, Surat Keputusan Penetapan Kawasan Hutan bersifat parsial untuk wilayah yang tidak terlalu luas dan bukan wilayah Provinsi ataupun Kabupaten. Salah satu contoh Keputusan Penetapan Kawasan Hutan yakni Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 4096/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Kawasan Produksi Terbatas Hulu Sumai Seluas 6.786,52 Hektar di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.
Oleh karena itu, SK TGHK hanyalah bentuk penunjukan yang tidak memberikan kekuatan hukum final terhadap status kawasan. Hal ini telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011, yang menyatakan bahwa kawasan hutan yang sah hanyalah yang telah melalui proses penetapan, bukan sekadar penunjukan. Jika belum ada proses pengukuhan lengkap dan SK penetapan, maka wilayah tersebut belum sah sebagai kawasan hutan negara.
Di dalam Praktik Peradilan sebagaimana Putusan Mahkamah Agung No. 62 PK/PID.SUS/2015 yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Drs. Melanthon Manurung yang didakwa dengan tindak pidana kehutanan, Majelis Hakim tidak lagi menjadikan penunjukan sebagai dasar kawasan hutan. Di dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan “Dengan demikian bunyi Pasal 1 angka 3 Undang-Undang tersebut berbunyi menjadi: Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, dengan kata lain kawasan hutan penentuannya tidak atas penunjukan lagi, akan tetapi harus ditetapkan, karena untuk sampai pada tahap penetapan kawasan hutan melalui tahap-tahap sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat (1) Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan”.
Di dalam PP No. 23 Tahun 2021 Pasal 1 angka 5 bahkan menegaskan Kawasan Hutan Negara adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan Tetap yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Artinya, apabila suatu wilayah telah memiliki HGU sebelum penetapan kawasan hutan, maka wilayah itu secara hukum tidak dapat disebut kawasan hutan negara.
Kesimpulannya, pernyataan bahwa “HGU menang apabila lebih dahulu terbit dibandingkan dengan penetapan kawasan hutan” adalah benar dalam kerangka hukum yang berlaku. Namun pernyataan tersebut menjadi kontroversial karena sebagian pihak masih menyamakan penunjukan sebagai penetapan. Semoga tulisan ini bisa meluruskan kesalahpahaman terkait penunjukan yang disangka penetapan kawasan hutan.
- Lingkungan
- Pekanbaru
Oleh: Muhamad Zainal Arifin (Peneliti di Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (PUSTAKA AL
Ketika penunjukan dianggap penetapan : Sumber kekacauan definisi kehutanan
Redaksi
Ahad, 04 Mei 2025 - 17:02:01 WIB

Penulis : Muhamad Zainal Arifin (Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya) (Sumber : agroindonesia.co.id)
Pilihan Redaksi
IndexBanyak Tabung Gas Lpg Bocor di Distribusikan ke Masyarakat Inhil
Bejat!! Pemuda di Inhil Cabuli Anak di Bawah Umur Dengan Modus
Kepala Bocah di Inhil di Terkam Buaya Saat Mencuci Kaki di Pinggir Parit
Nama Mantan Pj Bupati Inhil Herman Disebut - Sebut Dalam Dugaaan Kasus Korupsi Baznas Inhil.
PJ Walikota Pekanbaru Risnandar Mahiwa Sempat Ikuti Sejumlah Agenda Sebelum di OTT KPK
Tulis Komentar
IndexBerita Lainnya
Index Lingkungan
Tunjukkan Kepedulian, Manajer PT PLN Nusantara Power Services Kunjungi Panti Lansia di Tembilahan
Rabu, 03 September 2025 - 19:05:22 Wib Lingkungan
Peduli Anak Yatim Piatu,Manajer PLN Nusantara Power Services Tembilahan Kunjungi Panti Asuhan Puri Kasih
Rabu, 03 September 2025 - 19:01:12 Wib Lingkungan
PW-IWO Riau Soroti Minimnya Dukungan untuk Pedagang Kecil di Tembilahan
Rabu, 20 Agustus 2025 - 23:03:18 Wib Lingkungan
Sambut HUT RI ke-80 dan HUT IWO ke-13, PLN ULP Tembilahan dan IWO Inhil Gelar Aksi Sosial Pasang KWH Gratis dan Bagikan Sembako
Jumat, 15 Agustus 2025 - 12:17:33 Wib Lingkungan